Etika Profesi Akuntansi Merupakan Etika
mengenai suatu ilmu yang membahas perbuatan baik dan buruk manusia sejauh yang
dapat dipahami oleh pikiran manusia. Dan etika profesi terdapat suatu kesadaran
yang kuat untuk mengindahkan Etika profesi pada saat mereka ingin memberikan
jasa keahlian profesi kepada masyarakat yang memerlukan. Beberapa pengertian
mengenai Etika diungkapkan oleh beberapa ahli antara lain Etika Menurut Kamus
Besar Bahasa Indonesia (1995) Etika adalah Nilai mengenai benar dan salah yang
dianut suatu golongan atau masyarakat. Etika adalah Ilmu tentang apa yang baik
dan yang buruk, tentang hak dan kewajiban moral.
Sedangkan Menurut Maryani & Ludigdo “Etika adalah Seperangkat aturan atau norma atau pedoman yang mengatur perilaku manusia, baik yang harus dilakukan maupun yang harus ditinggalkan yang di anut oleh sekelompok atau segolongan masyarakat atau profesi”Dari asal usul kata, dan berasal dari bahasa Yunani ‘ethos’ yang berarti adat istiadat/ kebiasaan yang baik Perkembangan etika yaitu Studi tentang kebiasaan manusia berdasarkan kesepakatan, menurut ruang dan waktu yang berbeda, yang menggambarkan perangai manusia dalam kehidupan pada umumnya dan dapat juga katakan Etika itu disebut juga filsafat moral adalah cabang filsafat yang berbicara tentang praxis (tindakan) manusia. Menurut Billy, Perkembangan Profesi Akuntan terbagi menjadi empat fase yaitu, Pra Revolusi Industri , Masa Revolusi Industri tahun 1900, Tahun 1900 – 1930, Tahun 1930 – sekarang.
Dengan adanya Etika profesi akuntansi masyarakat dapat menyadari terdapat suatu kesadaran yang kuat untuk mengindahkan etika profesi pada saat mereka ingin memberikan jasa keahlian profesi kepada masyarakat bagi yang memerlukan. Dalam suatu kegiatan pasti ada yang membuat kesalahan dalam suatu pekerjaan, berikut ini adalah 5 contoh penyimpangan dari penyimpangan etika akuntansi :
1. Kasus
KPMG-Siddharta Siddharta & Harsono yang diduga menyuap pajak.
September tahun 2001, KPMG-Siddharta Siddharta &
Harsono harus menanggung malu. Kantor akuntan publik ternama ini terbukti
menyogok aparat pajak di Indonesia sebesar US$ 75 ribu. Sebagai siasat,
diterbitkan faktur palsu untuk biaya jasa profesional KPMG yang harus dibayar
kliennya PT Easman Christensen, anak perusahaan Baker Hughes Inc. yang tercatat
di bursa New York.
Berkat aksi sogok ini, kewajiban pajak Easman memang
susut drastis. Dari semula US$ 3,2 juta menjadi hanya US$ 270 ribu. Namun,
Penasihat Anti Suap Baker rupanya was-was dengan polah anak perusahaannya.
Maka, ketimbang menanggung risiko lebih besar, Baker melaporkan secara suka
rela kasus ini dan memecat eksekutifnya.
Badan pengawas pasar modal AS, Securities & Exchange
Commission, menjeratnya dengan Foreign Corrupt Practices Act, undang-undang
anti korupsi buat perusahaan Amerika di luar negeri. Akibatnya, hampir saja
Baker dan KPMG terseret ke pengadilan distrik Texas. Namun, karena Baker mohon
ampun, kasus ini akhirnya diselesaikan di luar pengadilan. KPMG pun
terselamatan.
Komentar : Pada kasus ini KPMG telah melanggar prinsip integritas
karena tidak memenuhi tanggungjawab profesionalnya sebagai Kantor Akuntan
Publik sehingga memungkinkan KPMGkehilangan kepercayaan publik. KPMG juga telah
melanggar prinsip objektivitas karena telah memihak kepada kliennya dan
melakukan kecurangan dengan menyogok aparat pajak di Indonesia.
2.
Kasus Mulyana W Kusuma.
Kasus ini terjadi sekitar tahun 2004. Mulyana W Kusuma sebagai seorang
anggota KPU diduga menyuap anggota BPK yang saat itu akan melakukan audit
keuangan berkaitan dengan pengadaan logistic pemilu. Logistic untuk pemilu yang
dimaksud yaitu kotak suara, surat suara, amplop suara, tinta, dan teknologi
informasi. Setelah dilakukan pemeriksaan, badan dan BPK meminta dilakukan
penyempurnaan laporan. Setelah dilakukan penyempurnaan laporan, BPK sepakat
bahwa laporan tersebut lebih baik daripada sebeumnya, kecuali untuk teknologi
informasi. Untuk itu, maka disepakati bahwa laporan akan diperiksa kembali satu
bulan setelahnya.
Setelah lewat satu bulan, ternyata laporan
tersebut belum selesai dan disepakati pemberian waktu tambahan. Di saat inilah
terdengar kabar penangkapan Mulyana W Kusuma. Mulyana ditangkap karena dituduh
hendak melakukan penyuapan kepada anggota tim auditor BPK, yakni Salman
Khairiansyah. Dalam penangkapan tersebut, tim intelijen KPK bekerjasama dengan
auditor BPK. Menurut versi Khairiansyah ia bekerja sama
dengan KPK memerangkap upaya penyuapan oleh saudara Mulyana dengan menggunakan
alat perekam gambar pada dua kali pertemuan mereka.
Penangkapan ini menimbulkan pro dan kontra.
Salah satu pihak berpendapat auditor yang bersangkutan, yakni Salman telah
berjasa mengungkap kasus ini, sedangkan pihak lain berpendapat bahwa Salman
tidak seharusnya melakukan perbuatan tersebut karena hal tersebut telah
melanggar kode etik akuntan.
komentar: Berdasarkan
kode etik akuntan, kami lebih setuju dengan pendapat yang kedua, yaitu bahwa
Salman tidak seharusnya melakukan perbuatan tersebut, meskipun pada dasarnya
tujuannya dapat dikatakan mulia. Perbuatan tersebut tidak dapat dibenarkan
karena beberapa alasan, antara lain bahwa auditor tidak seharusnya melakukan
komunikasi atau pertemuan dengan pihak yang sedang diperiksanya. Tujuan yang
mulia seperti menguak kecurangan yang dapat berpotensi merugikan negara tidak
seharusnya dilakukan dengan cara- cara yang tidak etis. Tujuan yang baik harus
dilakukan dengan
cara-cara, teknik, dan prosedur profesi yang menjaga, menjunjung, menjalankan
dan mendasarkan pada etika profesi. Auditor dalam hal ini tampak sangat tidak
bertanggung jawab karena telah menggunakan jebakan uang untuk menjalankan
tugasnya sebagai auditor.
3. Kasus Sembilan KAP yang diduga melakukan
kolusi dengan kliennya
Jakarta, 19 April 2001 Indonesia
Corruption Watch (ICW) meminta pihak kepolisian mengusut sembilan Kantor
Akuntan Publik, yang berdasarkan laporan Badan Pengawas Keuangan dan
Pembangunan (BPKP), diduga telah melakukan kolusi dengan pihak bank yang pernah
diauditnya antara tahun 1995-1997. Koordinator ICW Teten Masduki kepada
wartawan di Jakarta, Kamis, mengungkapkan, berdasarkan temuan BPKP, sembilan
dari sepuluh KAP yang melakukan audit terhadap sekitar 36 bank bermasalah
ternyata tidak melakukan pemeriksaan sesuai dengan standar
audit.
Hasil audit tersebut ternyata tidak sesuai
dengan kenyataannya sehingga akibatnya mayoritas bank-bank yang diaudit
tersebut termasuk di antara bank-bank yang dibekukan kegiatan usahanya oleh
pemerintah sekitar tahun 1999. Kesembilan KAP tersebut adalah AI & R, HT
& M, H & R, JM & R, PU & R, RY, S & S, SD & R, dan RBT
& R. “Dengan kata lain, kesembilan KAP itu telah menyalahi etika profesi.
Kemungkinan ada kolusi antara kantor akuntan publik dengan bank yang diperiksa
untuk memoles laporannya sehingga memberikan laporan palsu, ini jelas suatu
kejahatan,” ujarnya. Karena itu, ICW dalam waktu dekat akan memberikan laporan
kepada pihak kepolisian untuk melakukan pengusutan mengenai adanya tindak
kriminal yang dilakukan kantor akuntan publik dengan pihak
perbankan.
ICW menduga, hasil laporan KAP itu bukan
sekadar “human error” atau kesalahan dalam penulisan laporan keuangan yang
tidak disengaja, tetapi kemungkinan ada berbagai penyimpangan dan pelanggaran
yang dicoba ditutupi dengan melakukan rekayasa akuntansi. Teten juga
menyayangkan Dirjen Lembaga Keuangan tidak melakukan tindakan administratif
meskipun pihak BPKP telah menyampaikan laporannya, karena itu kemudian ICW
mengambil inisiatif untuk mengekspos laporan BPKP ini karena kesalahan sembilan
KAP itu tidak ringan. “Kami mencurigai, kesembilan KAP itu telah melanggar
standar audit sehingga menghasilkan laporan yang menyesatkan masyarakat,
misalnya mereka memberi laporan bank tersebut sehat ternyata dalam waktu
singkat bangkrut. Ini merugikan masyarakat. Kita mengharapkan ada tindakan
administratif dari Departemen Keuangan misalnya mencabut izin kantor akuntan
publik itu,” tegasnya. Menurut Tetan, ICW juga sudah melaporkan tindakan dari
kesembilan KAP tersebut kepada Majelis Kehormatan Ikatan Akuntan Indonesia (IAI)
dan sekaligus meminta supaya dilakukan tindakan etis terhadap anggotanya yang
melanggar kode etik profesi akuntan.
Komentar :
Pada kasus tersebut prinsip etika profesi yang dilanggar
adalah tanggung jawab prolesi, dimana seharusnya melakukan pertanggung jawaban
sebagai profesional yang senantiatasa menggunakan pertimbangan moral dan
profesional dalam setiap kegiatan yang dilakukannya. Selain itu seharusnya
tidak melanggar prinsip etika profesi yang kedua,yaitu kepentingan publik,
yaitu dengan cara menghormati kepercayaan publik. Kemudian tetap memelihara dan
meningkatkan kepercayaan publik sesuai dengan prinsip integritas. Seharusnya
tidak melanggar juga prinsip obyektivitas yaitu dimana setiap anggota harus menjaga obyektivitasnya dan bebas
dari benturan kepentingan dalam pemenuhan kewajiban profesionalnya, dan
melanggar prinsip kedelapan yaitu standar teknis Setiap anggota harus
melaksanakan jasa profesionalnya sesuai dengan standar teknis dan standar
proesional yang relevan. Sesuai dengan keahliannya dan dengan berhati-hati,
anggota mempunyai kewajiban untuk melaksanakan penugasan dari penerima jasa
selama penugasan tersebut sejalan dengan prinsip integritas dan obyektivitas.
4.
Manipulasi Laporan Keuangan PT KAI
Transparansi serta kejujuran dalam
pengelolaan lembaga yang merupakan salah satu derivasi amanah reformasi
ternyata belum sepenuhnya dilaksanakan oleh salah satu badan usaha milik
negara, yakni PT Kereta Api Indonesia. Dalam laporan kinerja keuangan tahunan
yang diterbitkannya pada tahun 2005, ia mengumumkan bahwa keuntungan sebesar
Rp. 6,90 milyar telah diraihnya. Padahal, apabila dicermati, sebenarnya ia
harus dinyatakan menderita kerugian sebesar Rp. 63 milyar.
Kerugian ini terjadi karena PT
Kereta Api Indonesia telah tiga tahun tidak dapat menagih pajak pihak ketiga.
Tetapi, dalam laporan keuangan itu, pajak pihak ketiga dinyatakan sebagai
pendapatan. Padahal, berdasarkan standar akuntansi keuangan, ia tidak dapat
dikelompokkan dalam bentuk pendapatan atau asset. Dengan demikian, kekeliruan
dalam pencatatan transaksi atau perubahan keuangan telah terjadi di sini.
Di lain pihak, PT Kereta Api
Indonesia memandang bahwa kekeliruan pencatatan tersebut hanya terjadi karena
perbedaan persepsi mengenai pencatatan piutang yang tidak tertagih. Terdapat
pihak yang menilai bahwa piutang pada pihak ketiga yang tidak tertagih itu
bukan pendapatan. Sehingga, sebagai konsekuensinya PT Kereta Api Indonesia
seharusnya mengakui menderita kerugian sebesar Rp. 63 milyar. Sebaliknya, ada
pula pihak lain yang berpendapat bahwa piutang yang tidak tertagih tetap dapat
dimasukkan sebagai pendapatan PT Kereta Api Indonesia sehingga keuntungan
sebesar Rp. 6,90 milyar dapat diraih pada tahun tersebut. Diduga, manipulasi
laporan keuangan PT Kereta Api Indonesia telah terjadi pada tahun-tahun
sebelumnya. Sehingga, akumulasi permasalahan terjadi disini.
Komentar:
PT KAI sebagai suatu lembaga memang
memiliki kewenangan untuk menyusun laporan keuangannya dan memilih auditor
eksternal untuk melakukan proses audit terhadap laporan keuangan tersebut.
Tetapi, PT KAI tidak boleh mengabaikan dimensi organisasional penyusunan
laporan keuangan dan proses audit. Ada hal mendasar yang harus diperhatikannya
sebagai wujud penerapan tata kelola perusahaan yang baik (good corporate
governance). Auditor eksternal yang dipercayai harus benar-benar memiliki
integritas serta prosesnya harus terlaksana berdasarkan kaidah-kaidah yang
telah diakui validitasnya, dalam hal ini PSAK dan SPAP. Selain itu, auditor
eksternal wajib melakukan komunikasi secara benar dengan komite audit yang ada
pada PT Kereta Api Indonesia guna membangun kesepahaman (understanding)
diantara seluruh unsur lembaga. Selanjutnya, soliditas kelembagaan diharapkan
tercipta sehingga mempermudah penerapan sistem pengendalian manajemen di
dalamnya. Secara tidak langsung, upaya ini menunjang perwujudan tanggung jawab
sosial perusahaan kepada masyarakat luas sebagai salah satu pengampu
kepentingan.
5. Kredit Macet Rp 52 Miliar, Akuntan Publik
Diduga Terlibat
Selasa, 18 Mei 2010 | 21:37 WIB
JAMBI,
KOMPAS.com – Seorang akuntan publik yang membuat laporan keuangan perusahaan
Raden Motor untuk mendapatkan pinjaman modal senilai Rp 52 miliar dari BRI
Cabang Jambi pada 2009, diduga terlibat kasus korupsi dalam kredit macet.
Hal ini terungkap setelah pihak Kejati
Jambi mengungkap kasus dugaan korupsi tersebut pada kredit macet untuk
pengembangan usaha di bidang otomotif tersebut.
Fitri
Susanti, kuasa hukum tersangka Effendi Syam, pegawai BRI yang terlibat kasus
itu, Selasa (18/5/2010) mengatakan, setelah kliennya diperiksa dan dikonfrontir
keterangannya dengan para saksi, terungkap ada dugaan kuat keterlibatan dari
Biasa Sitepu sebagai akuntan publik dalam kasus ini. Hasil pemeriksaan dan
konfrontir keterangan tersangka dengan saksi Biasa Sitepu terungkap ada
kesalahan dalam laporan keuangan perusahaan Raden Motor dalam mengajukan
pinjaman ke BRI.
Ada empat
kegiatan data laporan keuangan yang tidak dibuat dalam laporan tersebut oleh
akuntan publik, sehingga terjadilah kesalahan dalam proses kredit dan ditemukan
dugaan korupsinya. “Ada empat kegiatan laporan keuangan milik Raden Motor yang
tidak masuk dalam laporan keuangan yang diajukan ke BRI, sehingga menjadi
temuan dan kejanggalan pihak kejaksaan dalam mengungkap kasus kredit macet
tersebut,” tegas Fitri.
Keterangan dan fakta tersebut terungkap
setelah tersangka Effendi Syam diperiksa dan dikonfrontir keterangannya dengan
saksi Biasa Sitepu sebagai akuntan publik dalam kasus tersebut di Kejati Jambi.
Semestinya
data laporan keuangan Raden Motor yang diajukan ke BRI saat itu harus lengkap,
namun dalam laporan keuangan yang diberikan tersangka Zein Muhamad sebagai
pimpinan Raden Motor ada data yang diduga tidak dibuat semestinya dan tidak
lengkap oleh akuntan publik.
Tersangka
Effendi Syam melalui kuasa hukumnya berharap pihak penyidik Kejati Jambi dapat
menjalankan pemeriksaan dan mengungkap kasus dengan adil dan menetapkan siapa
saja yang juga terlibat dalam kasus kredit macet senilai Rp 52 miliar, sehingga
terungkap kasus korupsinya.
Sementara
itu pihak penyidik Kejaksaan yang memeriksa kasus ini belum maumemberikan
komentar banyak atas temuan keterangan hasil konfrontir tersangka Effendi Syam
dengan saksi Biasa Sitepu sebagai akuntan publik tersebut.
Kasus
kredit macet yang menjadi perkara tindak pidana korupsi itu terungkap setelah
kejaksaan mendapatkan laporan adanya penyalahgunaan kredit yang diajukan
tersangka Zein Muhamad sebagai pimpinan Raden Motor. Dalam kasus ini pihak
Kejati Jambi baru menetapkan dua orang tersangka, pertama Zein Muhamad sebagai
pimpinan Raden Motor yang mengajukan pinjaman dan tersangka Effedi Syam dari
BRI yang saat itu menjabat sebagai pejabat penilai pengajuan kredit.
komentar:
Dalam kasus ini, seorang akuntan publik
(Biasa Sitepu) sudah melanggar prinsip kode etik yang ditetapkan oleh KAP (
Kantor Akuntan Publik ). Biasa Sitepu telah melanggar beberapa prinsip kode
etik diantaranya yaitu :
1. Prinsip
tanggung jawab : Dalam melaksanakan tugasnya dia (Biasa Sitepu) tidak
mempertimbangkan moral dan profesionalismenya sebagai seorang akuntan sehingga
dapat menimbulkan berbagai kecurangan dan membuat ketidakpercayaan terhadap
masyarakat.
2.
Prinsip
integritas : Awalnya dia tidak mengakui kecurangan yang dia lakukan hingga
akhirnya diperiksa dan dikonfrontir keterangannya dengan para saksi.
3.
Prinsip
obyektivitas : Dia telah bersikap tidak jujur, mudah dipengaruhi oleh pihak
lain.
4.
Prinsip
perilaku profesional : Dia tidak konsisten dalam menjalankan tugasnya sebagai
akuntan publik telah melanggar etika profesi.
5.
Prinsip
standar teknis : Dia tidak mengikuti undang-undang yang berlaku sehingga tidak
menunjukkan sikap profesionalnya sesuai standar teknis dan standar profesional
yang relevan.
Sumber :
Kompas.com
No comments:
Post a Comment